Dunia Maya – Membuat orang berani jadi brengsek, atau pada dasarnya memang manusia itu brengsek ?

Dunia Maya – Membuat orang berani jadi brengsek, atau pada dasarnya memang manusia itu brengsek ?

Menurut saya, saya adalah pengguna media sosial yang cukup veteran (lebih karena umur sebenarnya). Saya pengguna facebook sejak 2009 dan twitter sejak 2010, sebelum itu pernah pake Friendster, sejak 2005/2006 sepertinya (kalau tidak salah ingat).

Dalam belasan tahun saya menggunakan media sosial, saya merasa terjadi perubahan yang signifikan dalam bagaimana netizen bersikap di internet. Saya melihat polaritas yang ekstrim dalam apa yang dipercaya oleh netizen.

Memperdebatkan sesuatu memang bukan hal yang baru di internet. Saya juga dulu (waktu masih muda) suka berkeliaran di Debat Club KasKus. Tapi cara orang berdebat di internet saat ini menurut saya lebih parah dari debat kusir. Dalam debat kusir (yang saya pahami) yang terjadi adalah tidak ada tujuan akhir yang jelas dari argumen yang dilempar satu sama lain, karena memang tujuan debatnya adalah membela diri masing-masing bukan mencari siapa yang benar. Tetapi yang saya lihat dari cara netizen berargumen adalah tanpa argumen samasekali, bingung ? hehehe. Kalau kita memantau apa yang terjadi di thread twitter, komen youtbe dlsb, yang terjadi adalah sekedar melempar makian dan merendahkan pihak lawan.

 

Ini yang terjadi dalam debat kusir:

A: Indomie paling enak sedunia !!!

B: Beuh gak lah mie sedap paling enak !!!

A: Emang kenapa menurut lu mie sedap lebih enak, hah ? jelas-jelas Indomie lebih mendunia

B: Mau mendunia ato gak, gak ngaruh, apaan mie rasanya garem doang kayak itu

Dst dst

 

Ini yang terjadi dalam argumentasi netizen sekarang :

A: Indomie paling enak sedunia !!!

B: DASAR OTAK MICIN !! KAPITASLIS !! BUDAK KORPORAT !!!

See ?

 

Sebenarnya apa yang terjadi sehingga kita terdgradasi menjadi manusia yang senang menghina orang lain di dunia maya yang orang tersebut bahkan kita gak kenal samasekali ? banyak hal mungkin. Tapi menurut saya ada beberapa hal yang menonjol dari pengamatan terbatas saya, yaitu Fanboying, Anonimitas, Online Alter ego dan Konekuensi langsung di dunia nyata.

Fanboying

Sekitar 10 taun lalu, saya melihat fanboying garis keras di dunia persepakbolaan (sampe sekaramg juga masih). JakMania vs Viking, MU vs City vs Liverpool vs Arsenal dst dst. Dan ini sering terjadi di dunia nyata yang saling ledek-ledekan keesokan harinya setelah pertandingan.

Perkembangan teknologi yang sangat cepat 10 tahun terakhir membawa jenis fanboy baru yang merajalela di dunia maya, yaitu Brand Fanboy & Figure Fanboy.

Brand Fanboy ini fenomena mendunia sih, utamanya iOS vs Android. Kalau di luar sana mendebatkan ponsel kelas raja minyak seperti mana yang lebih masuk akal antara iPhone X vs Galaxy S9 vs Oneplus 6, semacam itu. Indonesia punya subclass fanboy sendiri, yang diperdebatkan adalah soal price/performance brand mana yang paling masuk akal. Samsung & iPhone misalnya akan selalu megang cap overprice (kemahalan karena gak mampu beli), yang paling notorious (ini apa bahasa Indonesianya yak) adalah MiFans. Ini saya bahas lain waktu aja deh. Panjang ceritanya.

Figure fanboy, perdebatan soal siapa yang benar & siapa yang salah biasanya melibatkan dua orang yang saling membela junjungannya sendiri. Membela orang yang menurut kita benar sebenarnya sah-sah aja, tapi masalahnya sekarang arahnya mulai gak sehat karena beberapa hal:

  1. Kalau kamu bukan bagian dari kami berarti bagian dari mereka, netizen gak bisa menerima bahwa ada makhluk-makhluk woles yang memang netral, antara punya pandangan berimbang yang melihat masing-masing pihak ada benarnya, atau apatis – terserah kalian mau ngomongin apa.
  2. Kritik sama dengan mencela, berarti musuh. Siapapun yang anda bela adalah manusia biasa, manusia bisa salah, sehebat apapun dia. Semakin banyak hal baik yang coba dilakukan oleh seorang manusia, makin banyak potensi dia berbuat kesalahan, karena itu tokoh, siapapun itu butuh katalis berupa orang-orang yang peduli untuk mengingatkan jikalau dirinya berbuat kesalahan. Mengkritik berarti mendukung untuk menjadi lebih baik.
  3. Pihak sana pasti salah, ayo cari-cari kesalahan. Perbedaan antara kritik dan nyinyir adalah, kritik diikuti dengan memberi masukkan atau setidaknya memberi pointer dimana letak kesalahan yang diperbuat, sementara nyinyir berhenti sampai pada tahap “tindakan kamu salah, pokoknya salah”.
  4. Mencela adalah argument paling supreme. Bagian ini tidak perlu penjelasan, menurut saya.

Anonimitas 

Ketika masuk ke akun media sosial, anda bisa menjadi siapa saja sekaligus bukan siapa-siapa.  Karena anda pada awalnya hanya didefinisikan oleh sederetan huruf dan angka dan gambar apapun yang anda pasang pada profil anda. Anonimitas seharusnya memang menjadi hak privasi setiap pengguna internet – dalam artian “saya yang menentukan apa yang saya ingin dunia lihat dan ketahui  tentang saya”. Dalam anonimitas ;saya, anda dan siapa saja bisa bersembunyi dalam informasi palsu yang diberikan untuk mendefinisikan “Saya” di dunia maya. Karena segala tentanng saya di dunia maya bisa jadi hanya sebatas @IniAkunSaya.

Perasaan bahwa saya adalah anonim, bukan siapa-siapa, tidak ada yang tahu siapa saya yang sebenarnya, menimbulkan rasa aman yang semu bahwa kita bisa melakukan apa yang kita mau, hal ini akan berlanjut di point selanjutnya.

Online Alter Ego

Dengan sebuah premis dari anonimitas bahwa anda bisa menjadi siapa saja dan tidak akan ada yang tahu diri anda yang sebenarnya; Anda di dunia maya akan menjadi seseorang yang berbeda dengan anda di dunia nyata. Online alter ego anda akan melakukan dan mengatakan apa yang di dunia nyata tidak akan mungkin pernah anda lakukan dan katakan secara terang-terangan.

Saya pribadi sayangnya sangat membosankan, saya di dunia nyata pendiam dan di media sosial pun seperti itu, twitter hanya saya update jika saya ingin menulis sesuatu yang tidak penting atau retweet hal-hal yang menurut saya menarik.

Tetapi saya tidak yakin orang yang kegiatan di media sosial-nya setiap hari mencela orang yang tidak sepaham dengan dia, di dunia nyata melakukan hal yang sama. Saya yakin akan banyak terjadi perkelahian di jalanan jika setiap orang “berani” bertindak dan berkata-kata seperti yang mereka lakukan di dunia maya.

Para jagoan-jagoan di twitter atau Social Justice Warrior di IG, kemungkinan di dunia nyatanya adalah Mas-mas atau Mbak-mbak yang sedang sama-sama makan soto di sebelah kita dan orangnya ya biasa-biasa aja.

Sebuah pertanyaan yang selalu saya lontarkan pada diri saya sebelum menulis sesuatu di dunia maya adalah  : “Kalo saya ngomong begini di dunia nyata, bakal ditabok gak ya?”

Konsekuensi di dunia nyata

Kenapa warganet melakukan apa yang mereka lakukan di dunia maya pada akhirnya adalah karena  ada perasaan aman dari konsekuensi terhadap tindakan mereka. Tentu saja ada orang-orang yang terciduk karena kelewat nekat menjelekkan pejabat atau instansi pemerintah misalnya, kemudian disambangi pihak yang berwajib lalu minta maaf.

Tetapi jika perang urat syaraf (online) hanya terjadi di tatanan rakyat (online), siapa yang mau peduli melaporkan ?. Contoh lain jika ada berita bohong alias hoax yang tersebar luas, ujung-ujung nya yang dicari pasti hanya yang pertama kali menyebarkan, orang-orang yang jempolnya iseng nyolek share atau retweet karena “udah banyak yang share juga” pasti aman-aman saja.

Apa yang online alter ego saya lakukan, bukan sesuatu yang saya lakukan. Sebuah anggapan bahwa dunia maya dan dunia nyata tidak saling berkaitan.

Mungkin memang pada dasarnya mungkin memang kita saja yang brengsek, dan media sosial hanya menjadi wadah, karena kebetulan si Joni yang di dunia nyata kalem, bisa jadi @BabangP3dr0 yang hobi maki-maki orang yang gak sepaham, retweet berita apapun tentang dosa lawan, berani ngatain orang “bangsat”, karena dia yakin gak akan ada yang nabok dia di dunia nyata.

Sebelum ada yang nabok di dunia nyata, maka Joni dan @BabangP3dr0 akan hidup dengan damai di dunianya masing-masing, mirip manusia dan demit.


Leave a comment